Fenomena Dunia Digital: Individu dalam Cengkeraman Hegemoni Kapitalis dan Oligarki

 


Digital merupakan penggambaran keadaan menggunakan bilangan biner dengan bantuan mesin. Berkat perkembangan pengetahuan manusia, digital berkembangan menjadi sebuah teknologi canggih. Ada dua jenis teknologi yang berkembangan yaitu transmisi informasi dan otomisasi komputer. Hasil konversi antara dua teknologi ini melahirkan teknologi informasi (TI) yang kemudian mengubah cara manusia bekerja dan berinteraksi.

Dewasa ini, perkembangan dunia digital telah melahirkan sebuah ruang baru yang bersifat maya. Pada awalnya ruang maya (yang disebut virtual reality) diciptakan TI untuk mempresentasikan ruang fisik. Saya membayangkan pembentukan ruang maya ini secara sederhana terjadi ketika kita berada di depan cermin. Diri kita yang berada dala cermin merupakan representasi diri kita. Sifat eksistensi kita dalam cermin bersifat maya. Artinya kita benar-benar tidak berada dalam cermin. Gambaran diri dalam cermin merupakan reflection diri kita dalam ruang fisik. Jika kita menyisir dan membelai rambut dalam ruang fisik maka refleksi diri dalam cermin akan melakukan hal yang sama. Apa yang terjadi dalam cermin ini masih bersifat sederhana. Dalam lingkup digital, refleksi diri kita itu melibatkan proses pemrograman yang rumit yang melibatkan kerja-kerja mesin sesuai dengan perintah (souerce code) yang ditulis. Akibatnya, data yang membangun ruang maya menarik pengguna menjauhi tubuhnya sendiri. Yang lebih parah, dalam ruang maya ini, kita mengalami dunia tak terkendali tanpa batas di mana kita tidak bisa mengendalikan apapun yang kita kehendaki.

Term virtual reality pada tempat tertentu disebut sebagai contraditio in terminus. Istilah kenyataan/realitas maya oleh pencentusnya disebut cukup ganjil dan kontradikstoris. Banyak pengkritik kemudian menuliskan bahwa realitas virtual sebagai ruang baru itu tidak pernah bisa mempresentasikan kenyataan (ruang fisik). Pendapat ini disindir oleh Castells dengan menyebut sebagai mereka yang secara implisit merujuk pada pengertian primitif yang absurd. Menurutnya, kekhasan Teknologi Informasi tidak terletak pada kemampuannya untuk merefleksikan realitas virtual ke dunia fisik melainkan kemampuannya untuk membangun kemayaan yang nyata (real virtuality). Dari perkembangan TI yang demikian ini, kita tidak lagi membayangkan sebuah ruang virtual sedehana yang hanya berfungsi merefleksikan kenyataan seperti berdiri di depan cermin tetapi lebih dari itu ia mampu menghadirkan kemayaan yang nyata. Ini berarti TI mampu menghadirkan efek suatu peristiwa atau entitas secara aktual meskipun peristiwa atau entitas tersebut tidak real. Misalnya, TI mampu menghadirkan efek aktual dari peristiwa orang yang menyisir dan membelai rambut secara virtual. Dalam ruang fisik tidak ada orang yang sedang menyisir dan membelai rambut, tetapi orang itu merasakan ada efek aktual secara real terjadi atasnya.[1]

Perkembangan TI yang yang semakin canggih ini kemudian membawa kita dalam sebuah refleksi tentang ruang baru yang disebut cyberspace. Dalam cyberspace, TI bukan hanya mengomunikasikan pengalaman tetapi menjadi pengalaman itu sendiri. Cyberspace atau biasa disebut sebagai ruang virtual atau ruang siber merupakan satu ruang publik baru yang bisa diandalkan untuk melakukan apapun secara artifisial. Cara artifisial adalah cara yang mengandalkan pada peran TI, khususnya teknologi seperti komputer. Kehadiran cyberspace telah mengalihkan berbagai aktifitas manusia (politik, ekonomi, sosial, kultural, spiritual, dll.) dari dunia nyata (ruang fisik) ke dalam dunia virtual (ruang virtual) dalam bentuk kehidupan artifisial. Ini berarti orang tidak hanya lagi berhadapan dengan piranti teknologi tetapi membenamkan seluruh seluruh indera dan tubuhnya ke dalam lingkungan baru yang dibangun oleh komputer. Hal ini bisa terjadi karena kemayaan yang terjadi dalam ruang virtual mampu menghadirkan berbagai pengalaman baru dengan derajat realisme tanpa batas.

Sebagai ruang publik baru, Cyberspace memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial manusia yang tampak dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat individual, tingkat antarindividual dan tingkat komunitas. Pada tingkat individual, cyberspace mengubah pemahaman kita tentang “identitas.” Ini berarti di dalam ruang siber tejadi kekacauan identitas karena setiap orang yang berada di dalamnya dapat memainkan berbagai peran sesuai dengan keinginan tanpa terikat identitas asli. Pada tingkat antarindividual, cyberspace menciptakan relasi sosial yang bersifat virtual di ruang-ruang virtual. Relasi ini tampak jelas dalam virtual shopping, virtual game, virtual conference. Pada tingkat komunitas, cyberspace dapat menciptakan satu model komunitas demokratis dan terbuka yang disebut sebagai komunitas imajiner. Di dalam komunitas imajiner ini, setiap orang bisa menjadi pengontrol bagi dirinya.[2]

Kehadiran ruang siber dengan segala kemampuan seperti ini sangat mudah terkooptasi oleh hegemoni kekuasaan. Dalam sejarahnya, penggunaan internet (interconnection Networking) bermula sebagai sistem komunikasi militer Amerika Serikat untuk mengedarkan informasi rahasia. Ketika dunia bisnis melihat kemampuan komersialnya, internet digunakan untuk melayani hegemoni kapital. Akhir-akhir ini, internet kemudian dikooptasi oleh hegemoni politik yang rentan digunakan untuk kepentingan oligark. Kehadiran fenomena baru dalam dunia digital ini pada akhirya membawa kita masuk dalam era post-truth di mana orang tidak lagi percaya pada kebenaran akan fakta-fakta objektif.

Kamus Oxfrod mendefisinikan istilah ini sebagai suatu keadaan di mana orang lebih menanggapi perasaan dan keyakinan dari pada fakta-fakta objektif.[3] Imbas dari hadirnya post-truth, kita tidak lagi mampu membedakan dengan jelas antara fakta dan hoaks. Berbagai informasi palsu dapat dengan mudah diproduksi dan disebarkan secara masal berkat bantuan teknologi digital dan internet. Dampak yang ditimbulkannya tidak hanya menyerang masyarakat menengah ke bawah tetapi juga menjangkau masyarakat akademis. Di samping itu, era post-truth menghasil disrupsi yang menyerang semua sisi kehidupan manusia seperti ekonomi, pendidikan, agama, sosial dan politik. Akibatnya, banyak orang kehilangan pekerjaan karena manusia tidak lagi dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan operasional yang sekarang sudah diambil alih oleh kerja mesin.

Fenomena di atas pada satu sisi secara positif bermanfaat dalam mempermudah semua pekerjaan manusia namun pada sisi lain bisa melahirkan kegetiran yang mendalam terhadap eksistensi manusia. Menurut saya ada dua aspek menonjol yang bisa digambarkan untuk memahami bagaimana fenomena dunia digital yang berkembang dalam ruang virtual, yaitu hegemoni kapitalis dan hegehomi oligarki.

Pertama, dalam kaitan dengan hegemoni kapitalis. Sejarah dunia telah mencatat terjadinya ekspansi kapitalis dari ruang privat ke ruang publik. Ketika ekspansi ini terjadi, ruang publik akan mengalami krisis. Hana Arendt melukiskan krisis ruang publik itu ditandai oleh sejarah komersialisasi di mana seluruh realitas ruang publik tunduk di bawah logika produksi dan konsumsi sebagai objek komoditas dalam pasar kapitalis.[4] Menurut saya, ekspansi kapitalis ini tentu akan bergerak masuk ke dalam ruang virtual dan pada gilirannya akan melahirkan krisis global yang luar biasa. Krisis yang kita rasakan sekarang adalah terjadinya disrupsi dalam segala bidang. Salah satu contoh adalah munculnya aplikasi traveloka yang mematikan sebagian besar agen penjualan tiket offline. Begitupun juga dengan munculnya aplikasi-aplikasi serupa seperti Gojek dan Grab menghasilkan dampak yang sama. Dalam bidang jasa keuangan, munculnya aplikasi yang menerapkan sentuhan teknologi modern yang dikenal dengan sebutan Fintech (financial technology). Teknologi ini memudahkan semua aktifitas keuangan dan pada gilirannya akan menggeser semua kerja manusia.

Jika ditarik kebelakang, kita akan menemukan sekumpulan kapitalis yang menggerakan seluruh bisnis virtual ini di seluruh dunia. Artinya, kaum kapitalis memiliki kekuatan yang sangat besar melebihi kekuatan negara. Disrupsi tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi saja tetapi dalam semua aspek. Di sini, eksistensi kita sebagai manusia yang memiliki kebebasan akan sangat mudah ditundukan pada kepentingan kapitalis. Di dalam pasar kapitalis, manusia hanya akan dianggap sebagai objek komoditas. Saya berpikir bahwa fenomena krisis pandemi covid-19 sangat mungkin dijadikan sebagai kesempatan uji coba ekspansi kapitalis dalam ruang siber secara global, yang dimaksudkan untuk menggatikan kerja manusia dengan kerja mesin atau untuk memantau setiap pergerakan individu yang berinteraksi dalam ruang siber. Ekspansi tersebut bisa saja tidak berakhir di situ. Kapitalis dapat melakukan ekspansi menembus ruang privat individu-individu yang terlibat di dalam ruang siber tersebut.

Ada contoh yang bisa diuraikan berkaitan dengan fenomena ini. Jika kita memperhatikan sebagian besar aplikasi media sosial seperti, Youtube, Facebook, Instagram yang awalnya bebas dari iklan sekarang sudah mulai disisipi oleh konten iklan yang sangat sesuai dengan preferensi kita. Ini berarti pencurian data pribadi telah terjadi. Perusahan-perusahan itu berhasil membaca data profil tanpa kita sadari yang kemudian digunakan untuk menyisipkan konten iklan. Hal ini bisa terjadi karena user tidak pernah peduli dengan persoalan semacam ini. Kebanyakan orang menggunakan berbagai aplikasi digital tanpa peduli dengan segala dampak yang ditimbulkan. Selama berguna, aplikasi itu akan terus digunakan. Perilaku pengguna yang masa bodoh dengan persoalan ini tentu akan memudahkan perusahaan pemilik aplikasi untuk terus membaca data profil kita hingga bisa mengetahui semua hal tentang diri kita. Yuval Noah Harari menggambarkan kegelisahan ini secara gamblang dalam tulisaanya yang berjudul the world after coronavirus. Ia membuat sebuah eksperimen hipotetis bahwa jika perusahaan dan pemerintah pada suatu waktu mulai menerapkan pengawasan digital dalam diri kita, mereka dapat memanen data biometrik secara massal dan dapat mengenal kita jauh lebih baik daripada diri kita sendiri. Mereka kemudian tidak hanya dapat memprediksi perasaan tetapi juga mampu memanipulasi perasaan dan menjual apa pun yang sesuai dengan preferensi kita.[5]

Kedua, dalam kaitan dengan hegemoni oligarki. Kemampuan teknologi digital menjadi modal kapital baru bagi kaum oligark. Satu fakta menggembirakan bagi mereka adalah perkembangan jumlah pengguna internet yang terus meningkat setiap tahun. Hal ini dapat digunakan sebagai senjata untuk memanipulasi preferensi publik terhadap pilihan politik. Di Indonesia, aplikasi Facebook dan Twitter menjadi aplikasi yang paling populer. Kehadiran dua aplikasi ini tidak hanya mempermudah pekerjaan dan mengurangi biaya politik tetapi bisa memberi dampak pada hasil yang maksimal. Hal ini bisa kita telusuri dari fenomena People Power–nya Jokowi 2014 dan Pilgub Jakarta 2017 di mana partai mengubah preferensi publik dengan memanfaatkan media sosial.

Perkembangan ini pada titik tertentu berdampak pada munculnya hoaks. Teknologi tidak hanya memudahkan orang mengakses informasi tetapi juga melemahkan kesadaran verifikasi data. Kesempatan ini bisa digunakan oligark sebagai peluang meningkatkan popularisme politik demi memasok tingkat elektabilitas. Namun, hoaks yang terjadi tidak hanya menguntungkan oligark tetapi juga mengancam kehidupan sosial-politik masyarakat. Sebagaimana kemampuan TI dalam menciptakan real virtuality, hoaks yang terjadi dalam ruang virtual berdampak sampai dunia nyata. Karena dampaknya yang real ini maka hoaks berkembang menjadi bisnis yang menggiurkan. Bisnis hoaks dikenal lewat kehadiran buzzer dan influencer.

Dua aspek di atas memberi gambaran kelam tentang bagaimana fenomena dunia digital menghantam keberadaan manusia yang hidup dalam ruang virtual. Dua aspek itu menjadi penting karena perkembangan teknologi informasi telah memaksa manusia masuk dalam ruang virtual. Manusia kedepannya akan hidup berdampingan dengan dunia digital seperti artificial intelligence, big data, internet of things, dan robotic. Perkembangan teknologi merupakan sebuah keniscayaan. Untuk itu, fenomena ini menuntut manusia menguasai teknologi agar tidak terkena dampak negatifnya. Namun, kecakapan penggunaan teknologi masih belum cukup untuk mengatasi serangan siber. Keamanan data digital masih menimbulkan banyak persoalan. Di samping itu, lemahnya kesadaran verifikasi data menambah banyak persoalan baru. Hoaks menjadi konten informasi yang lebih disenangi publik. Jika kita tidak hidup secara bijak dalam ruang virtual dengan segala kemampuan teknologi digital yang serba canggih, kita tidak akan bisa merasakan manfaatnya. Alih-alih mendapatkan manfaat, kita malah terperangkap dalam ancaman terhadap eksistensi kemanusiaan kita sendiri, seperti hilangnya kebebasan dan privatisasi bahkan kita bisa ditundukan pada mekanisme pasar kapitalis yang menjadikan kita sebagai objek komoditas ekonomi dan bahkan politik.

Di sisi lain, kita bisa saja merayakan kemampuan TI dalam membantu manusia. Manfaat itu dirasakan ketika TI mampu mengahadirkan relasi dan komunitas sosial yang terasa semakin real dalam ruang virtual. Hal ini dapat mempermudah manusia dalam berbagai hal seperti berbagi data secara cepat dan mudah yang bisa melampaui hambatan geografis. Di saat kita berada dalam masa krisis pandemi covid-19, ruang virtual menjadi satu-satunya ruang publik teraman di dunia saat ini. Kita bersyukur atas manfaat besar ini karena jika tidak kita akan akan teralienasi dalam lingkungan sosial kita sendiri.


[1] Budi Hardiman, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis sampai Cyberspace (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 329-34.

[2] Yasraf Amir, Posrealitas: Realitas kebudayaan dalam era postmetafisika, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. 105-107.

[4] Budi Hardiman, op. it., hlm. 190

Comments