Implementasi New Public Management dalam Tata Kelola Sektor Publik di Indonesia.


BAB I

PEDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini, terlihat dengan jelas tentang tata kelola sektor publik yang mendukung tata kelola sektor privat. Keberhasilan sektor privat yang perkembangannya membawa manusia hidup dalam era industri 4.0 menunjukkan bahwa efisiensi tata kelola privat sangat bisa diandalkan. Di samping itu, fakta tentang rendahnya kualitas layanan masyarakat menuntut adanya reformasi sektor publik. Hal ini dilakukan agar pemerintah dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat. Salah satu gerakan reformasi sektor publik adalah perubahan konsep Manajemen Publik Baru (NPM). NPM merupakan pemikiran yang diusung oleh Hood (1991) yang mendukung model bisnis privat dan perkembangan pasar. Mengelola sektor publik yang berorientasi pada pasar dan ini akan meningkatkan efisiensi biayabagi pemerintah. Dengan demikian, konsep NPM menghilangkan monopoli pelayanan birokrasi yang tidak efisien dan meningkatkan kualitas layanan publik yang mencapai pada kesejahteraan bersama.

Dalam konsep NPM, reformasi di sektor publik menghendaki keunggulan-keunggulan yang ada di sektor privat diadopsi ke dalam prinsip-prinsip manajemen sektor publik. Ini berarti pemerintah harus menyetujui, baik teknik-teknik administrasi bisnis juga nilai-nilai bisnis. Indonesia mulai merintis perubahan ini pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Saat itu, ekonomi Indonesia dijalankan dengan model ekonomi neoliberal. [1] Melalui model ini, wajah keuangan Indonesia ditransformasi menjadi ekonomi yang berbasis pasar bebas.

Ini menjadi tanda kebebasan kapitalis di Indonesia. Keberadaan selama reformasi sedang berkembang. Ada beberapa tinjauan yang menunjukkan perkembangan wajah kapitalis di Indonesia yang salah hanya membahas privatisasi dan deregulasi terhadap sektor-sektor modal yang penting bagi negara. Perkembangan ini mencermikan keberadaan neoliberalisme dengan ciri khas liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. [2]

Tiga ciri utama di atas tentu saja memberikan harapan akan terwujudnya pelayanan publik. Namun, beberapa fakta penelitian menujukkan bahwa itu tidak terjadi peningkatan pelayanan masyarakat yang ingin mencapai kesejahteraan. Bahkan angka kemiskinan meningkat tajam pada era ekonomi neoliberal. Satu hal yang bisa dikritisi adalah ekspansi sektor swasta atas sektor publik yang didorong kenaikan eksploitasi sektor-besar. Prinsip privatisasi yang begitu kuat mendorong deregulasi dan tata kelola yang berorietasi untung hanya akan menghasilkan kapitalis neo-lib. Maka sangat mungkin untuk meningkatkan privatisasi dan deregulasi terhadap sektor pelayanan publik untuk meningkatkan kualitas pelayanan dengan menggunakan neo-lib untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam demi meningkatkan keuntungan privat antek neo-lib. Cara ini juga memudahkan antek neo-lib bersembunyi dibalik tanggung jawab negara atas kerugian yang terjadi.

 

I.2. Rumusan Masalah

Lahirnya kapitalis merupakan tantangan tersendiri bagi negara dalam mewujudkan tata kelola yang baik di sektor publik. Fenomena di atas terlihat jelas ada agenda tersembunyi di antara negara (publik) dan swasta (privat). Kerja sama di antara kedua pihak ini tentu berorientasi pada pemenuhan keuntungan privat dan diterima oleh masyarakat yang berorientasi pada kesejahteraan. Untuk itu, makalah ini bertujuan untuk mendeskripsi konsep Manajemen Publik Baru dan bagaimana menerapkannya dalam tata kelola sektor publik di Indonesia.

 

BAB II

MANAJEMEN PUBLIK BARU

2.1. Landasan Teori

Konsep Manajemen Publik Baru dikenalkan oleh Christopher Hood tahun 1991. Keputusan manajemen di sektor publik pada mucul sebagai reaksi terhadap tidak memadainya model administrasi publik tradisional. [3] Sementara NPM memiliki komitmen terhadap hasil dan peningkatan pengelolaan yang lebih baik, sehingga meningkatkan kualitas pelayanan masyarakat dan kesejahteraan.

Para ahli teori kewarganegaraan telah membantu menciptakan iklim di mana saat ini masuk akal untuk berbicara tentang Layanan Publik Baru. Layanan Publik Baru ini terkait dengan Manajemen Publik Baru. Gagasan-visi itu, adalah sebagai berikut [4] :

1.       Melayani Warga, Bukan Pelanggan: Kepentingan publik adalah hasil dari dialog tentang nilai-nilai bersama dari agregasi kepentingan individu. Oleh karena itu, pegawai negeri tidak hanya menyetujui "pelanggan," tetapi lebih fokus pada pembangunan hubungan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan di antara warga negara.

2.       Mencari Kepentingan Umum: Administrator publik harus berkontribusi untuk membangun partisipasi bersama tentang kepentingan publik. Tujuannya bukan untuk menemukan solusi cepat yang ditawarkan oleh pilihan individu. Mengajukan, Itu Mengajukan Tanggung Jawab Bersama.

3.       Nilai Kewarganegaraan atas Kewirausahaan: Kepentingan publik lebih baik diutamakan oleh pelayan publik dan warga negara yang mendukung pemberian kontribusi bagi masyarakat. Nilai kepentingan publik ini lebih baik dari pada tindakan manajer wirausaha yang bertindak sebagai-olah uang masyarakat adalah milik pribadi.

4.       Berpikir Secara Strategis, Bertindak Secara Resmi: Program dan Kebijakan yang Mengajukan Kebutuhan Publik dapat Dipercayai Paling Efektif dan Bertanggung Jawab melalui Upaya Pengumpulan dan Proses Kolaboratif.

5.       Mengakui Pertanggungjawaban Tidak Sederhana: Pelayan publik harus lebih memperhatikan pasar; Mereka juga harus memperhatikan undang-undang-undangan dan konstitusi, nilai-nilai komunitas, norma politik, standar profesi, dan kepentingan warga negara.

6.       Melayani sebagai pendukung: Semakin penting bagi pelayan masyarakat untuk menggunakan kepemimpinan yang didasarkan pada nilai dan berbagi dalam membantu warga mengartikulasikan dan memenuhi kepentingan bersama mereka alih-alih mendukung mengendalikan atau menghubungkan masyarakat ke arah baru.

7.       Nilai orang, bukan hanya produksi: Organisasi masyarakat dan jaringan di mana mereka memerlukan lebih dari yang dibutuhkan melalui proses kolaborasi dan pengelolaan bersama berdasarkan penghormatan terhadap semua orang.

Berikut ini disajikan tabel perbedaan antara paradigma Administrasi Publik Lama, Manajemen Publik Baru dan Layanan Publik Baru. [5]

Tabel 1. Perbedaan paradigma

 

Administrasi Publik Lama

Manajemen Publik Baru

Layanan Publik Baru

Dasar pemikiran dan epistimologi

Teori politik

Teori ekonomi

Teori demokrasi

Rasionalisme umum dan model perilaku manusia

Rasionalitas Sinoptik

(manusia administrasi)

 

Teknis Dan rasionalitas Ekonomi ( manusia ekonomi)

Rasionalitas strategis atau rumus rasionalitas (politik, ekonomi dan organisasi)

Konsep kepentingan publik

Kepentingan publik diwujudkan dalam politik dan diekspresikan dalam aturan hukum

Kepentingan publik

Kepentingan publik adalah hasil dialog dengan berbagai nilai

Kepada siapa pelayanan publik yang bertanggung jawab

Klien dan konstituen

Pelanggan

Warga negara

Peran pemerintah

Mendayung (mendesain dan mengimplementasikan kebijakan

Pengarah (bertindak sebagai kalisator)

Melayani (membangun dan menjembatani kepentingan masyarakat dan komunitas dengan cara   berbagi nilai)

Tujuan persetujuan

Melalui pemerintah

Melalui organisasi privat dan nirlaba

Melalui koalisi antarorganisasi publik, nirlaba dan privat

Pendekatan terhadap akuntabilitas

Pengutamaan hirarki administratif dalam penyelesaian tugas

Akumulasi dari kepentingan pribadi akan menghasilkan keinginan sebagian besar masyarakat (pelanggan)

Multiaspek, pelayanan publik berhadapan dengan hukum, nilai-nilai, komunitas, norma politik, standar profesional

Diskresi administrasi

Diskresi terbatas

Diskresi diberikan secara luas

Diskresi dibutuhkan tetapi dibatasi dan bertanggungjawab

Struktur organisasi

Birokratik yang ditandai dengan otoritas top-down

Desentralisasi organisasi dengan kontrol utama berada dalam institusi

Struktur kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal dan eksternal

Asumsi terhadap motivasi pegawai dan administrator

Gaji dan keuntungan proteksi

Semangat kewirausahaan, keinginan untuk mereduksi ukuran pemerintah

Pelayanan publik dengan keinginan melayani masyarakat

 

 

2.2. Analisis

2.2.1.      Hegemoni Sektor Privat atas Sektor Publik di Indonesia

Hegemoni sektor privat di Indonesia tampak dalam perkembangan kapitalisme di Indonesia yang terbingkai dalam neoliberalisme. Hegemoni ini memainkan peran yang besar dalam realitas ekonomi Indonesia. Sejak awal munculnya reformasi, institusi neoliberalisme seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia mulai bekerja dengan mempengaruhi kebijakan negara. Menurut IMF, krisis keuangan global yang menerjang Indonesia adalah akibat pemerintah tidak mengikuti aturan pasar global. Untuk keluar dari krisis itu, IMF memberi dana penyelamatan 30 miliar dolar AS dengan menuntut adanya reformasi kebijakan dengan persyaratan yang ketat berdasarkan aturan pasar global.[6]

Semenjak itu, berkembang kapitalis sedang dikembangkan perkembangan yang cepat. Ada beberapa tinjauan yang menunjukkan perkembangan wajah kapitalis di Indonesia. [7] Pertama: kuatnya modal swasta. Hal ini dapat dilihat dengan melihat perubahan basis pendapatan negara. Pendapatan negara pada tahun 1982-1983 sebesar 73,3 persen. Penghasilan dari penerimaan minyak dan gas bumi, dan bantuan asing. Pada tahun 2010, pendapatan negara sebesar 72,7 persen diperoleh dari berbagai jenis pajak. Ada 17 persen dari pendapatan itu berasal dari sumber daya alam dan 1 persen dari bantuan asing. Kedua, berkembangannya dominasi etnis Tionghoa di dalam perekonomian Indonesia. Etnis Tionghoa ini merupakan komponen kelas kapitalis Indonesia yang sangat penting. Namun, dominasi ikatan ini tidak dapat mengatur kontrol langsung. Keberadaan etnis Tionghoa ini pada tahun 1960-an meningkatkan kekangan dari kaum kapitalis pribumi. Ketiga, Naiknya kapitalis pribumi yang mendapat akses langsung ke kekuasaan politik. Hal ini terlihat jelas dalam peran yang dimainkan oleh beberapa tokoh besar seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla dan Surya Paloh. Tokoh ketiga ini memobilisasi sumber daya ekonomi mereka untuk mencapai kepemimpinan tertinggi dan dengan demikian bisa menggunakan kekuatan politik yang diraih untuk mengamankan aset ekonomi mereka. Keempat, lawan pengusaha yang ikut serta dalam kegiatan politik baik untuk menjadi pemimpin daerah maupun menjadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Di samping itu, mengundang pengusaha lokal juga ikut serta dalam mendukung keuangan untuk calon eksekutif dan legislatif. Kelima, terjadi privatisasi dan deregulasi terhadap sektor-sektor modal penting negara. Hal ini terlihat jelas dalam peran yang dimainkan oleh beberapa tokoh besar seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla dan Surya Paloh. Tokoh ketiga ini memobilisasi sumber daya ekonomi mereka untuk mencapai kepemimpinan tertinggi dan dengan demikian bisa menggunakan kekuatan politik yang diraih untuk mengamankan aset ekonomi mereka. Keempat, lawan pengusaha yang ikut serta dalam kegiatan politik baik untuk menjadi pemimpin daerah maupun menjadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Di samping itu, mengundang pengusaha lokal juga ikut serta dalam mendukung keuangan untuk calon eksekutif dan legislatif. Kelima, terjadi privatisasi dan deregulasi terhadap sektor-sektor modal penting negara. Hal ini terlihat jelas dalam peran yang dimainkan oleh beberapa tokoh besar seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla dan Surya Paloh. Tokoh ketiga ini memobilisasi sumber daya ekonomi mereka untuk mencapai kepemimpinan tertinggi dan dengan demikian bisa menggunakan kekuatan politik yang diraih untuk mengamankan aset ekonomi mereka. Keempat, lawan pengusaha yang ikut serta dalam kegiatan politik baik untuk menjadi pemimpin daerah maupun menjadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Di samping itu, mengundang pengusaha lokal juga ikut serta dalam mendukung keuangan untuk calon eksekutif dan legislatif. Kelima, terjadi privatisasi dan deregulasi terhadap sektor-sektor modal penting negara. Tokoh ketiga ini memobilisasi sumber daya ekonomi mereka untuk mencapai kepemimpinan tertinggi dan dengan demikian bisa menggunakan kekuatan politik yang diraih untuk mengamankan aset ekonomi mereka. Keempat, lawan pengusaha yang ikut serta dalam kegiatan politik baik untuk menjadi pemimpin daerah maupun menjadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Di samping itu, mengundang pengusaha lokal juga ikut serta dalam mendukung keuangan untuk calon eksekutif dan legislatif. Kelima, terjadi privatisasi dan deregulasi terhadap sektor-sektor modal penting negara. Tokoh ketiga ini memobilisasi sumber daya ekonomi mereka untuk mencapai kepemimpinan tertinggi dan dengan demikian bisa menggunakan kekuatan politik yang diraih untuk mengamankan aset ekonomi mereka. Keempat, lawan pengusaha yang ikut serta dalam kegiatan politik baik untuk menjadi pemimpin daerah maupun menjadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Di samping itu, mengundang pengusaha lokal juga ikut serta dalam mendukung keuangan untuk calon eksekutif dan legislatif. Kelima, terjadi privatisasi dan deregulasi terhadap sektor-sektor modal penting negara. Keterlibatan pengusaha lokal yang ikut serta dalam kegiatan politik baik untuk menjadi pemimpin daerah maupun menjadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Di samping itu, mengundang pengusaha lokal juga ikut serta dalam mendukung keuangan untuk calon eksekutif dan legislatif. Kelima, terjadi privatisasi dan deregulasi terhadap sektor-sektor modal penting negara. Keterlibatan pengusaha lokal yang ikut serta dalam kegiatan politik baik untuk menjadi pemimpin daerah maupun menjadi anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Di samping itu, mengundang pengusaha lokal juga ikut serta dalam mendukung keuangan untuk calon eksekutif dan legislatif. Kelima, terjadi privatisasi dan deregulasi terhadap sektor-sektor modal penting negara.

Terjadi privatisasi dan deregulasi yang terbingkai dalam pemahaman neoliberalisme yang membuktikan kemenangan kapitalisme di Indonesia. Hegemoni sektor privat ini terus merasuk sampai pada perubahan kebijakan negara. Beberapa kebijakan IMF Berikut ini adalah kebijakan perubahan kebijakan yang mencakupi (1) pelaksanaan kebijakan anggaran yang diperketat, (2) liberalisasi kebijakan sektor keuangan yang didukung, (3) memfasilitasi melakukan liberalisasi perdagangan, (4) melakukan privatisasi BUMN. [8]

 

2.2.2.       Tingkat Layanan Publik dan Tingkat Kesejahteraan di Indonesia

Stefan Folster dan Magnus Henrekson dalam tulisannya berjudul "Efek Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah dan Perpajakan di Negara-negara Kaya", menganalisis pengaruh pemerintah dan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara kaya. Sebagai kesimpulan dari kajian Folster dan Henrekson menunjukkan hubungan antara ukuran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan model panel ekonometrik pada sampel di negara negara kaya memiliki hubungan negatif secara signifikan. Demikian pula dengan pajak yang memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Beberapa penelitian sejenis lainnya menunjukkan hasil jangka panjang pemerintah tidak meningkat positif terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi. [9]

Pada penelitian lain yang terlihat pada tata kelola keuangan daerah di kabupaten / kota di Indonesia melalui perhitungan indeks tata kelola penganggaran menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan pada peningkatan tata kelola pemerintahan daerah. [10] Fakta ini cukup memprihatinkan karena peningkatan tata kelola keuangan daerah dengan peningkatan keamanan keuangan yang mendukung peningkatan kualitas layanan masyarakat dan kesejahteraan. Reformasi kebijakan yang dimulai pada masa reformasi tidak juga merta mengubah wajah tata kelola pemerintahan. Justru yang berkembang pesat adalah kelompok kapitalis yang mentransformasi dirinya menjadi oligark.

Dari seluruh perkembangan perkembangan kapitalis di Indonesia, fakta ini terlihat dengan jelas tentang apa yang terjadi yang terjadi selama transisi demokrasi pasca Orde Baru. Menurut Winters, transisi yang terjadi adalah transisi oligarki, yaitu dari oligarki jinak menuju oligarki pembohong. Keberadaan oligarki ini sangat kuat sehingga sulit untuk dikendalikan oleh negara baik melalui sistem demokrasi elektoral maupun melalui supremasi hukum. Fakta ini sangat gamblang untuk disetujui karena disetujui oligarki saat ini tengah disetujui lembaga-lembaga politik. [11] Ekses dari fenomena ini tampak dalam berbagai komersialisasi sektor publik yang mendukung liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.

Besarnya kekuasaan kaum oligark ini cukup menyulitkan perwujudan tata kelola yang baik. Ini bisa memperlebar hubungan antara warga negara dan pemerintah. Pada titik tertentu, warga tidak memiliki akses kontrol yang kuat untuk mengembalikan liarnya jaringan yang dimainkan oleh kaum oligark. Ketiadaan akses kontrol ini semakin memperlebar jarak akses publik dan pada akhirnya akan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat dan bisa memunculkan rasa apatis terhadap jalannya tata kelola pemerintahan. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah bersama pemilik modal dapat berkompromi mensejahterakan diri dan kelompok kepentingannya dan mengalihkan tugas pelayanan publik demi kesejahteraan bersama.

Perkembangan kapitalis yang sangat pesat menurut penulis yang menerapkan konsep NPM yang berorientasi pada pasar. Keputusan untuk merombak tata kelola pemerintahan melalui kampanye Tata kelola pemerintahan yang baik pada saat perubahan menjadi jalan yang mulus untuk perkembangan kapitalis di Indonesia. Reformasi anggaran ekonomi ini seperti merupakan agenda perangkap neo-lib yang diambil oleh kaum kapitalis untuk menyusup masuk ke dalam kekuatan dan kemudian berubah menjadi pembohong oligark. Dengan adanya liberalisasi, privatisasi dan deregulasi pemerintah tidak sepenuhnya bebas izin pasar. Kualitas tata kelola sektor publik oleh pemerintah daerah puningkatan 2,5 dari skala 4. [12]Jika konsep NPM seperti yang diuraikan Denhardt ini menunjang perbaikan tata kelola publik, maka penerapannya harus menabrak tembok tembus kuasa oligark yang di atur penuh dengan praktik korupsi. Gagasan Denhardt dapat menjadi awal yang baik namun perlu dipertimbangkan juga tentang penerapannya harus disesuaikan dengan ciri-ciri geografis dan sosial Indonesia dan harus melibatkan peran sebagai masyarakat.

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Reformasi tata kelola sektor publik di Indonesia telah memulai pemerintahan dengan menerapkan konsep good governance. Perwujudan tata kelola pemerintahan yang disetujui untuk memperbaiki kualitas layanan publik. Namun, realitas pelayanan publik di Indonesia tidak menampakan perubahan dan kesulitan stagnan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh buruknya sistem tata kelola pemerintahan tetapi lebih pada hegemoni sektor privat yang lebih besar untuk mampu mengelola lembaga politik negara.

Realitas ini pada akhirnya akan memperparah kualitas layanan masyarakat dan tidak akan bisa meningkatkan kesejahteraan warga negara. Untuk itu menerapkan konsep Manajemen Publik Baru harus mempertimbangkan penerapan sektor privat. Salah satunya adalah persiapan penuh tantangan hegemoni oligark yang penuh dengan praktik korupsi. Maka penerapan konsep NPM harus didukung oleh peran serta semua masyarakat yang aktif dan dengan mempertimbangkan kondisi geografis dan sosial Indonesia. Penerapan konsep NPMujudkan Denhardt dapat dilakukan sebagai awal perubahan.

 

DAFTAR PUSTAKA

I.                    Buku-Buku

Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi Ekonomi , 2010.

Azizy, Qodri, Change management dalam reformasi birokrasi, 2007.

Denhardt, Janet Dan Robert B. Denhardt, Layanan Publik Baru: Melayani, Tidak Mengarah, 2007.

Rahardjo, Dawam,   Merayakan Kemajemukan Kebebasan Dan Kebangsaan, 2010

Wijaya, Andi dan Danar, Oscar, Manajemen Publik: Teori dan Praktik, 2014.

 

II                 Majalah

Winters, Jeffrey. “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”. Dalam Prisma, 33: 16-20, 2014.

Aspinall, Edward. “Kemenangan Modal? Politik Kelas dan Demokratisasi Indonesia ” . Dalam Prisma . 32: 24-25, 2013.

Haditz, Vedi, dan Robinson, Richard. "Ekonomi Politik oligarki dan Pengorganisasian kembali kekuasaan di Indonesia". Dalam Prisma, 33: 49, 2014.

 

III        Internet

https://jia.stialanbandung.ac.id/index.php/jia/article/download/342/315g , di akses pada 13 Mei 2020.

https://www.bmeb-bi.org/index.php/BEMP/article/view/58/47 , di akses pada 13 Mei 2020.

https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/8koR4W5b-pengamat-kualitas-tata-kelola-sektor-publik-indonesia-relatif-stagnan , di akses pada 13 Mei 2020.



[1] Dawam Rahardjo,Merayakan Kemajemukan, Kebebasan dan Kebangsaan,(Jakarta: Prenada Media Grup, 2010), hal. 200.

[2] Edward Aspinall, “Kemenangan Modal? Politik Kelas dan Demokratisasi Indonesia ”. Dalam Prisma, 32: 24-25, 2013.

[3] Qodri Azizy,Manajemen perubahan dalam reformasi birokrasi,(Jakarta: Gramedia, 2007),halg. 24.

[4] Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt,Layanan Publik Baru: Melayani, Tidak Mengemudi,(New York: ME Sharpe, 2007), hal. 42-43.

[5] Andi Wijaya dan Oscar Danar,Manajemen Publik: Teori dan Praktik,(Malang: UB Press, 2014), hal. 13-15.

[6] Vedi Haditz dan Richard Robinson, "Ekonomi Politik oligarki dan Pengorganisasian kembali kekuasaan di Indonesia". Dalam Prisma, 33: 49, 2014

[7] Edward Aspinall,Op., Cit.

[8] Jimly Asshiddiqie,Konstitusi Ekonomi(Jakarta: Kompas, 2010), hal. 338.

[11]Pada masa Orde Baru, Soeharto bertanggung jawab terhadap kelahiran dan oligarki besar. Ia lantas memegang persetujuan yang kuat sehingga mengharuskan oligarki pada masa yang ditentukan jinak. Pada masa reformasi, oligarki berkembang sangat kuat sehingga mempengaruhi jalinan kekuasaan. Perkembangan ini ditandai dengan perubahan oligarki yang berciri sultanistik menjadi penguasa koleksi elektoral. Beberapa oligark terlibat langsung dalam lembaga partai dan bersaing memperebutkan jabatan. Kondisi ini diperparah dengan adanya masalah aturan hukum. Kaum oligark membeli dan memutarbalikan sistem hukum jadi legal membalikkan dan memihak kaum oligark. Berdasarkan kenyataan ini, Winters mengatakan bahwa terjadi transisi lain yang menyertai transisi demokrasi. Transisi lain itu bergerak dari oligarki sultanistik yang dijinakan oleh pribadi oleh Soeharto menuju oligarki penguasa kolektor elektoral yang sangat pembohong. Jeffrey A. Winters, "Oligarki dan Demokrasi di Indonesia". Dalam Prisma, 33: 16-20, 2014.

Comments