ARTI SALIB DAN KEBANGKITAN KRISTUS SEBAGAI DASAR IMAN KRISTIANI




 

            Berbicara tentang iman Kristiani tidak bisa dilepaskan dari iman kepada Yesus Kristus. Secara historis, kisah hidup Yesus dicatat di dalam sejarah umum. Sejarawan Romawi kuno Tacitus mengatakan bahwa pendiri orang-orang Kristen menderita hukuman ekstrem di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Fakta sejarah ini dicatat oleh gereja dan ditempatkan ke dalam credo dengan maksud menunjukkan historisitas Yesus dan mau menempatkan Yesus dalam sejarah umum. Historisitas Yesus ini memainkan peranan yang penting dalam seluruh refleksi iman Kristiani bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh tokoh historis yang pernah hidup dan wafat di salib.

            Dari semua sejarah hidup Yesus, peristiwa wafat dan kebangkitan-Nya merupakan pokok pewartaan gereja. Dalam teologi, peristiwa ini disebut sebagai peristiwa salib. Peristiwa salib merupakan peristiwa puncak hidup Yesus yang menjadi titik tolak seluruh refleksi gereja tentang rencana keselamatan Allah bagi manusia. Para pengarang Kitab Suci tidak menjelaskan secara eksplisit seluruh karya keselamatan Allah sehingga sebagian disingkapkan kepada kita dan sebagian lain tetap tinggal sebagai misteri. Hal ini jugalah yang terjadi dengan para rasul. Selama hidup bersama Yesus, mereka tidak memahami maksud wahyu Allah yang dinyatakan dalam diri Yesus sehingga semua rencana Allah yang tergambar dalam Perjanjian Lama dan dalam pewartaan yang memuncak pada Yesus tidak bisa ditangkap dengan sempurna oleh para rasul.

            Iman Kristiani sebenarnya mengambil dasarnya dalam pernyataan iman para rasul. Namun, pernyataan iman para rasul tidak bertumbuh dalam waktu singkat. Ketika Yesus wafat di Kayu Salib para rasul menjadi takut dan pergi menyelamatkan diri sendiri. Fakta ini menjelaskan ketidakmampuan para rasul untuk memahami perutusan Yesus. Namun, pengalaman kebangkitan Yesus membuka pikiran mereka dan mereka menjadi mengerti tentang pemberitaan Kitab Suci bahwa apa yang Yesus kerjakan adalah untuk menggenapi segala nubuat dalam Perjanjian Lama dan puncak dari karya penyelamatan Allah bagi manusia. Berkat peristiwa salib Kristus dan dalam kemuliaan Roh Kudus, mereka dimampukan untuk memahami bahwa apa yang mereka saksikan dalam seluruh hidup bersama Yesus adalah untuk memenuhi dan menggenapi nubuat Kitab Suci, yaitu Yesus yang wafat dan bangkit adalah Tuhan dan penyelamat manusia. Pengalaman akan peristiwa salib ini menjadi pangkal tolak iman para rasul. Pengalaman ini kemudian menjadi kunci pemahaman dan dasar iman Kristiani. Dengan demikian, pengalaman para rasul akan peristiwa salib menjadi dasar dan titik tolak untuk memahami arti salib dan kebangkitan serta dasar iman Kristiani.[1]

            Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru ditemukan beberapa teks yang mengatakan tentang arti salib, seperti 1 Kor 15:3-4, Mrk 14:24, Rm 5:6, Rm 5:9-11, 1 Ptr 2:23-24. Dalam teks ini ditemukan arti wafat Yesus di salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Di sini terlihat bahwa Allah tidak menghukum manusia atas dosa-dosanya karena begitu besar kasih setia-Nya kepada manusia. Allah memilih untuk tidak membalas dosa-dosa manusia dengan kekerasan tetapi dengan mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menanggung dosa-dosa manusia.

Pada masa Perjanjian Lama, saat upacara hari raya pendamaian (Im. 16), imam besar akan masuk ke dalam ruang Maha Kudus satu tahun sekali. Ia harus membawa dua ekor kambing yang akan dibuang undi, satu untuk Tuhan sebagai korban penghapus dosa dan satu bagi Azazel untuk mengadakan perdamaian dengan dilepaskan ke padang gurun. Kisah ini mau menunjukkan bahwa manusia akibat dosa-dosanya tidak bisa langsung masuk ke tempat Maha Kudus di mana Allah bersemayam. Untuk bisa masuk, imam besar harus mengadakan korban pendamaian dengan Allah. Kedatangan Kristus dengan wafat di salib, diartikan sebagai kedatangan Imam besar untuk masuk ke tempat Maha Kudus satu kali untuk selama-lamanya bukan dengan membawa korban darah binatang tetapi dengan darah-Nya sendiri (Ibr. 9). Dengan demikian, salib mengungkapkan kerendahan hati dan keinginan Tuhan untuk menyelamatkan manusia dengan korban darah-Nya sendiri.

Di samping itu, melalui salib Allah mau menunjukkan tanda solidaritas-Nya kepada manusia. Allah masuk ke dalam hidup manusia dan menyerap semua kesenggaraan manusia ke dalam kehidupan ilahinya untuk tujuan penyembuhan. Allah mengidentifikasikan diri-Nya dengan semua orang yang mengalami penderitaan, ketidakadilan, kemiskinan, bahkan ikut masuk ke dalam fase terakhir dari kehidupan manusia, yaitu kematian. Dengan ini, bisa dikatakan bahwa Allah melalui Yesus Kristus di salib turut mengalami semua yang dialami manusia kecuali dalam hal dosa (Ibr 4:15).[2]

Ketika Yesus di kayu salib, Ia berseru Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Seruan Yesus ini bukanlah sebuah simbol kekalahan atau pengabaian terhadap-Nya. Sebailknya, Yesus hanya mengulangi seruan kepada Allah dalam bahasa Mazmur 22:1. Mazmur 22 ini merupakan seruan ratapan dari seorang penderita saleh yang juga menggambarkan nubuat penderitaan Yesus sebagai orang benar yang mengalami penderitaan. Seruan ratapan ini membuka jalan menuju pengharapan yang terlukis dalam ayat 23-28. Jadi, di dalam penderitaan salib yang dialami manusia, Allah memberi pengharapan.

Berkaca pada seruan ratapan ini, Mazmur 22 tidak hanya melukiskan penderitaan atau kesengsaraan orang-orang benar yang mengalami ketidakadilan, yang tertindas, yang lemah tetapi juga harapan yaitu pertolongan bagi yang tertindas (Mzm 22:24) dan hidup baru (Mzm 22:27). Di sini, terlihat bahwa di tengah-tengah penderitaan, kesenggsaraan, ketertindasan, terdapat harapan pertolongan dari Allah untuk membebaskan manusia dari penindasan dan karunia hidup baru. Di samping itu, seruan ratapan mazmur 22 menubuatkan tentang penderitaan Yesus di salib dan pembenaran diri-Nya tiga hari kemudian. Namun, dibalik salib, ada pengharapan yang mengarah kepada kebangkitan Yesus. Jadi, di tengah-tengah penderitaan penyaliban, ada harapan kebangkitan yaitu keselamatan dan hidup kekal yang dalam Ibrani 6.19 dilukiskan sebagai sauh yang kuat dan aman bagi jiwa, yang dilabuhkan sampai ke belakang tabir (ruang Maha Kudus) dengan Yesus sebagai Imam Besar.

Harapan akan kebangkitan Yesus ini juga merupakan pembenaran diri Allah atas semua manusia. Ini menunjukkan bahwa dalam kebangkitan, Allah sedang bertindak pada orang benar-Nya, yaitu Yesus Kristus, dan dalam Yesus Kristus Allah akan mengikutsertakan semua manusia dengan membebaskannya dari penderitaan dosa. Dengan demikian, kebangkitan Yesus merupakan peristiwa keselamatan Allah bahwa Allah tidak akan membiarkan manusia menderita selama-lamanya. Dalam credo, gereja menegaskan ini dengan mengatakan Yesus bangkit pada hari ketiga. Hari ketiga merupakan kata yang mengungkapkan iman yang bermakna teologis-soteriologis.[3] Ini sebabnya mengapa peristiwa kebangkitan disebut sebagai peristiwa iman, berbeda dengan peristiwa sengsara dan wafat Yesus di salib yang disebut sebagai peristiwa historis.

Di samping itu, kebangkitan Yesus menunjukan bahwa Ia kini telah dimuliakan. Sebab seluruh hidup Yesus, sabda, perbuatan, sampai pada peristiwa paskah merupakan satu bentuk penyerahan diri-Nya kepada Bapa sebagai ungkapan ketaatan, maka dalam kebangkitan Bapa menerima-Nya dan memuliakan-Nya sebagai Tuhan. Seluruh karya penyelamatana Allah ini dikerjakan Yesus dengan cara manusiawi. Dengan cara ini ketika Yesus dimuliahkan, maka kemanusiaan Yesus ikut dimuliakan sebagai Putera Allah. Dalam kodrat kemanusiaan yang dimuliakan itu, Roh Kudus akan dilimpahkan kepada semua manusia. Dan di sinilah keselamatan terbuka bagi semua manusia sampai pada akhir zaman. Hal ini juga merupakan proklamasi kedudukan-Nya sebagai perantara keselamatan untuk semua manusia.[4]

            Pada akhirnya, salib dan kebangkitan menandakan identifikasi akhir Allah terhadap manusia dalam seluruh karya penyelamatan Allah bagi manusia. Dengan mengambil jalan salib, Allah tidak hanya mengambil bagian dalam penderitaan manusia tetapi menyerap dan mengubanya menjadi pengharapan yang tampak dalam kebangkitan, yaitu keselamatan manusia. Maka, salib berfungsi sebagai pengingat bagi orang-orang Kristen tentang cara Allah menyelamatkan manusia dengan mengorbankan diri-Nya sendiri. Di sini terlihat hubungan yang kuat antara salib dan kebangkitan. Hubungan ini mengatakn bahwa untuk mengalami kebangkitan harus dimulai dengan mengakui kerusakan yang ditimbulkan oleh ketidakadilan, penderitaan dan kematian (penyaliban). Tanpa melalui ini, manusia yang telah rusak tidak dapat mengalami keadilan, penyembuhan dan hidup baru (kebangkitan). Atau dengan kata lain, karya penyelamatan Allah bagi manusia yang kita alami dikerjakan Allah dengan turun ke dunia orang mati melalui wafat-Nya di salib.

    Kesakian seperti inilah yang diungkapkan Yesus kepada para rasul melalui peristiwa salib dan kebangkitan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya ketika Yesus masih bersama-sama dengan mereka. Pengalaman kebangkitan dan berkat terang Roh Kudus, para rasul akhirnya mengerti isi seluruh Kitab Suci dan makna perutusan diri Yesus Kristus bagi pelaksanaan karya penyelamatan Allah bagi umat manusia. Mereka menyadari bahwa Yesus yang wafat di salib, yang kini hadir dan menyertai mereka itu adalah Tuhan penyelamat manusia. Pengalaman iman ini begitu menguatkan, mempersatukan dan memberanikan mereka untuk mewartakan kabar kebangkitan Yesus Kristus sebagai tindakan penyelamatan Allah atas dosa-dosa manusia. Pernyataan iman para rasul inilah yang diwartakan dan hidup dalam jemaat perdana hingga berkembang sampai pada hari ini menjadi dasar iman Kristiani. Bersama dengan pernyataan iman para rasul ini, kita akhirnya dapat berkata bahwa Yesus adalah Tuhan penyelamat manusia.


[1] E. Martasudjita, Misteri Kristus. Pokok-Pokok Iman Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 83-87.

[2] Ibid., hlm. 143-145.

[3] Ibid., hlm. 149

[4] C. Putranto, Dihimpun untuk Diutus: Pengantar Singkat Eklesiologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2019), hlm.156-157.


Comments